Tuesday, February 2, 2016

Filosofi Mengajar Saya (My Teaching Philosophy)

Saya memulai karir di pendidikan sebagai seorang guru fisika honorer di Madrasah Tsanawiyah (Mts.) Al-Huda, Bandung pada tahun 2002. Saat itu, saya mengajar sambil menjadi  mahasiswa Teknik Mesin di Institut Teknologi Bandung (ITB). Hal tersebut berarti sebelumnya saya tidak pernah mempelajari ilmu pendidikan secara formal. Saya hanya mempelajari ilmu pendidikan secara sepotong-sepotong dengan membaca, mengikuti seminar, dan melakukan uji coba. Saya hanya mengajar hanya bermodalkan pengetahuan saya yang pas-pasan mengenai Fisika dan kenekatan belaka.

Sekarang saya tidak mengajar Fisika lagi. Saya mengajar mata kuliah Matematika di level kuliah (kalkulus) . Saya juga mengajar mata-mata kuliah yang terkait dengan ilmu kependidikan (untuk calon guru). Sesekali saya  mengajar bahasa Inggris dan matematika di Komunitas Rumah Mentari, Bandung.  Dalam beberapa kesempatan saya juga menjadi fasilitator untuk beberapa workshop untuk guru.

Dibandingkan dengan tahun 2002, pandangan saya tentang belajar dan mengajar sudah banyak berubah, misalnya terkait teknik mengajar. Dulu saya banyak berceramah. Siswa saya mendengarkan bisa selama 45 menit lamanya. Mereka hanya mencatat, sambil sesekali mengerjakan soal latihan. Sekarang, ketika mengajar, saya jarang sekali berceramah. Kalau saya punya waktu 1 jam 15 menit, misalnya. Saya biasanya paling banyak menghabiskan sekitar 15 menit untuk menjelaskan konsep-konsep mendasar. Sisa waktunya, sering saya gunakan untuk mengajak (maha)siswa mengerjakan tugas kelompok, membahas masalah, bacaan, atau kasus. Lalu, saya akan berkeliling kelas untuk ikut berdiskusi dengan (maha)siswa.

Namun, seorang  guru tidak bisa bergantung pada teknik semata untuk mengajar. Nilai-nilai yang dipegang oleh guru mempengaruhi pilihan sikapnya di dalam kelas, termasuk cara mengajarnya. Saya punya beberapa nilai dasar terkait belajar-mengajar yang saya percaya, diantaranya :

Setiap orang punya latar belakang pemahaman, pengetahuan, dan pengalaman, yang yang perlu dihargai
Buat saya, yang paling tidak boleh adalah guru yang merasa, lebih berkuasa, lebih tahu segalanya, dan merasa paling benar. Sebagai sesama manusia, saya dan siswa pada dasarnya setara. Sama-sama sedang belajar dan belajar satu sama lain. Dengan  menghargai latar belakang pemahaman, pengetahuan, dan pengalaman siswa maka seorang guru terbuka untuk melakukan dialog yang jujur dan terbuka dengan siswanya, sebagai manusia. Suasana belajar pun akan jadi lebih nyaman. Jauh lebih menyenangkan berada di sebuah kelas di mana tidak seorang pun merasa lebih superior dari lainnya. Semuanya manusia. Pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya, sama-sama berharga.

Dialog merupakan proses yang sangat penting dalam belajar
Saya sangat suka belajar dari berdialog dengan orang lain. Seperti yang saya sebutkan di atas, dialog hanya bisa terjadi ketika kita menganggap lawan bicara kita manusia yang sama-sama setara. Mungkin, karena saya menganggap diaolog merupakan proses yang sangat penting dalam belajar hal baru, maka saya sering merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa saya berdialog baik berdua maupun dalam kelompok.

Sebenarnya, saya sadar tidak semua orang senang berdialog. Berdialog sendiri butuh keterampilan tertentu, yakni keterampilan untuk mendengarkan orang lain, bersikap terbuka terhadap pandangan berbeda, keterampilan berbicara dengan jelas agar bisa dipahami oleh orang lain, keterampilan untuk bisa memahami maksud orang lain, dan sebagainya. Kalau ada siswa saya yang belum suka berdialog, biasanya saya tidak memaksa. Yang biasanya saya lakukan adalah menciptakan kesempatan-kesempatan di mana mereka akhirnya perlu berdialog dengan orang lain. Dalam opini saya, dialog adalah hal yang esensial, bukan hanya untuk belajar hal baru, tetapi esensial untuk membangun hubungan yang baik antara sesama manusia. Dan itu perlu dipelajari.

Setiap orang punya potensi untuk mempelajari hal-hal baru.
Ada sebuah buku yang bagus sekali berjudul  "A Mind for Numbers: How to Excel Math and Science Even if You Flunked Algebra". Pengarangnya bernama Barbara Oakley. Beliau juga adalah pengajar mata kuliah "Learning How to Learn" di Massive Open Online Courses (MOOCs) Coursera.

Barbara Oakley awalnya membenci matematika. Setelah lulus SMA, beliau mengambil jurusan bahasa dan akhirnya memperoleh gelar sarjana di bidang linguistik. Kebetulan beliau memperoleh pekerjaan di tentara Amerika Serikat sebagai penerjemah bahasa Rusia. Di sanalah beliau berinteraksi dengan berbagai ahli teknik (engineer) yang menurutnya begitu asyik mengotak-atik peralatan.

Muncullah pertanyaan di kepalanya, "Apa yah rasanya belajar Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)?"

Dua bidang tersebut selama ini selalu dihindarinya. Akhirnya, Barbara Oakley mulai belajar matematika dari dasar lagi di usia 26 tahun. Kini, Barbara Oakley merupakan profesor di bidang System Engineering. Kata Barabara Oakley dalam bukunya :
"As I gradually learned how to learn math and science, things became easier. Surprisingly, just as with studying language, the better I got, the more I enjoyed what I was doing." (Barbara Oakley, 2014)
Saya sangat menyukai buku Barbara Oakley ini. Buku ini meyakinkan saya, bahwa sebagai seorang guru, saya tidak boleh menganggap siswa saya 'tidak bisa berkembang'. Ketika seseorang berminat mempelajari sesuatu meskipun hal tersebut sulit, bila mereka terus berusaha, mereka bisa berkembang. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru adalah menumbuhkan minat siswa dalam belajar. Itu saja. Terkait dengan belajar, sebuah pepatah Cina mengatakan :


"Teachers open the door, but you must enter by yourself."
(Guru membuka pintu, tapi anda harus masuk (ke dalam) sendirian) 

Tidak mungkin belajar hal baru tanpa melakukan kesalahan. 

Thomas Alva Edison, penemu lampu pijar pernah mengatakan :
"To Invent, You Need a Good Imagination and a Pile of Junk"
(Untuk Menciptakan hal baru, anda memerlkan imajinasi yang baik dan setumpuk barang rongsokan) 

Kalau kita mempelajari kisah hidup Thomas Alva Edison, maka kita akan tahu bahwa beliau melakukan percobaan berulang kali yang sebagian mungkin hanya jadi barang rongsokan, sebelum akhirnya beliau menemukan lampu pijar. Baginya melakukan kesalahan bukanlah kegagalan. Edison juga pernah berkata :
"I have not failed, I just found 10,000 ways that don't work"
(Saya belum gagal, saya hanya menemukan 10.000 cara yang  tidak pas)  
Sepertinya bukan hanya Thomas Alva Edison yang pernah melakukan kesalahan berulang-ulang sebelum akhirnya berhasil. Rasanya tidak ada seorang ahli (dalam berbagai bidang) pun yang tidak pernah melakukan kesalahan.

Sebagai guru, jujur pernah muncul pikiran atau kelepasan untuk mengucapkan hal-hal seperti "Gitu aja gak tahu!"

Kalau sampai seorang guru mengucapkan hal seperti itu, siswa bisa merasa tidak nyaman untuk melakukan kesalahan. Padahal, kadang, kita belajar jauh lebih banyak justru ketika melakukan kesalahan. Sebagai seorang guru saya merasa bertanggung jawab untuk berusaha menciptakan lingkungan belajar yang membuat siswa merasa "saya boleh salah tapi saya juga akan belajar dari kesalahan tersebut."

Belajar dapat dilakukan dengan menyenangkan dan kita bisa menemukan kesenangan dengan belajar
Guru yang baik akan selalu berusaha menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. Caranya bisa beragam, guru menggunakan games, mengajak siswa mengerjakan proyek yang menantang dan sebagainya. 

Namun, buat saya menciptakan pembelajaran yang menyenangkan hanyalah tahap pertama. Seorang guru punya tanggung jawab yang lebih dari sekadar menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. Guru juga bertanggung jawab untuk berusaha mengajak siswanya menemukan kesenangan dalam belajar dan kesenangan ketika akhirnya berhasil belajar hal baru. Saya tidak percaya bahwa proses belajar harus selalu mudah. Belajar kadang-kadang merupakan proses yang menyulitkan. Meskipun sulit, kita tetap bisa menemukan kesenangan dalam belajar. 

Hal yang paling senang saya dengar ketika berada di dalam kelas adalah ketika siswa mengucapkan hal-hal seperti ini :

" Oh itu toh maksudnya."
"Aha!"
"Sebentar, sepertinya saya bisa!"
"Oh, begitu doang ternyata" "Jangan kasih tahu, Bu. Saya mau mencoba menyelesaikan masalah ini sendiri."
Intinya, saya paling senang ketika siswa merasa penasaran, mau mencoba ketika apa yang dipelajari tidak mudah, dan menemukan titik terang. Momen Aha!

Suasana di salah satu kelas saya di Sampoerna University. Saat itu saya menawarkan untuk membantu menyelesaikan sebuah masalah matematika, namun (maha)siswa saya berkata, "Ibu, biarkan kami berpikir."

Nilai-nilai yang saya pegang di atas sepertinya menjadi semacam petunjuk ketika saya merancang pembelajaran, mengajar, dan juga berinteraksi dengan siswa. Bagaimana dengan nilai-nilai anda? Nilai apa yang anda rasa paling penting? Bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi cara anda belajar, mengajar, dan menciptakan proses belajar-mengajar? Berbagi yuk! 

2 comments:

  1. Kalau di Indonesia Barbara itu belajar tdk linier jadi tdk bisa jadi Professor.

    Tapi secara umum tulisan ini bagus dan seharusnya setiap guru berkewajiban menulis apa yg telah dijalani dan menjadi satu ukuran kinerja/portfolio yg dikumpulkan tiap tahun

    ReplyDelete
  2. Well said!!! As a teacher we need to share our reclection to others to build a strong comitment and passion on teaching.

    ReplyDelete